Kamis, 25 Oktober 2012

DuniaEdukasi.Net

DuniaEdukasi.Net


Kedepankan Kualitas Guru Dulu...

Posted: 24 Oct 2012 12:57 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Universitas Paramadina, Anies Rasyid Baswedan, membantah bahwa dirinya merupakan bagian dari tim perombakan kurikulum pendidikan nasional yang sedang dilakoni oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, dia hanya dilibatkan dalam diskusi peningkatan kualitas guru.

Bagi Anies, perbaikan utama dalam sistem pendidikan di Indonesia harusnya terletak pada kualitas pendidik. Para guru dipandang sebagai ujung tombak permasalahan pendidikan bangsa karena proses pendidikan merupakan interaksi antarmanusia. Menurutnya, kemampuan para guru menjadi penentu keberhasilan siswa didiknya.

"Soal pendidikan itu, ujung tombaknya ada pada guru. Kalau kita perhatikan kualitas, distribusi dan kesejahteraan guru, saya rasa kita bisa selesaikan sebagian besar masalah pendidikan bangsa ini," kata Anies dalam sebuah diskusi publik bertema "Nasionalisme & Masa Depan Pendidikan Kita" yang diadakan MAARIF Institute, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (23/10/2012) malam.

Anies menegaskan, perlu pemikiran serius untuk mengoptimasi kualitas para guru. Selain dengan memberikan uji kompetensi, pelatihan dan pemetaan guru, apresiasi khusus terhadap para guru juga dianggap penting.

"Serius, masyarakat Indonesia, sampai hari ini masih belum mengapresiasi guru dengan baik. Padahal, apresiasi ini bukan soal tunjangan atau gaji saja, tetapi apresiasi terhadap komponen pengembangan guru. Dengan kita mengapresiasi guru, itu berarti juga kita mengapresiasi masa depan bangsa," ucap Anies lagi.

Menurut intelektual muda ini juga, pembelajaran pendidikan di Indonesia masih bermasalah. Dalam pendidikan dasar misalnya, Anies mengatakan, materi pendidikan yang disampaikan masih berorientasi menjadikan anak-anak Indonesia sebagai anak urban. Efeknya, materi yang disampaikan nyaris seragam dan menjenuhkan.

"Yang sering terlewatkan dalam diskursus pendidikan adalah asosiasi sekolah yang masih keliru. Ingat, Indonesia itu luas, tidak semua masyarakatnya urban, jadi sistem pendidikan kita harus bisa mengarahkan mereka sesuai dengan daerahnya," kata Anies lagi.

Dalam pembelajaran, lanjut Anies, guru harus dapat menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang kreatif dan berbeda, menyesuaikan dengan ragam anak Indonesia.

"Karenanya, guru berkualitas itu dapat mengatur pengembangan belajar siswa didiknya, bahkan akan dapat menanamkan nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan yang sentralistik, itu bisa saja terjadi jika gurunya berkualitas," kata Anies lagi.
Editor :
Caroline Damanik


Pendidikan Indonesia Monoton dan Menindas

Posted: 24 Oct 2012 12:52 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan di Indonesia masih monoton dan menindas. Hal tersebut dikemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Imam B Prasodjo, dalam diskusi publik bertema "Nasionalisme & Masa Depan Pendidikan Kita" yang diadakan MAARIF Institute, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (23/10/2012) malam.

Dosen Sosiologi UI itu menyatakan, para pengajar kita telah kehilangan ruh dalam mendidik anak bangsa. Pendidikan yang seharusnya menjadi pusat pengembangan sumber daya manusia, terlanjur masuk dalam sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada pengetahuan jangka pendek yang sifatnya hanya sementara.

"Pendidikan kita itu tak perlu detail. Ini dari dulu kita belajar teori bab per bab itu kan menindas. Membosankan. Para pengajar kita seharusnya lebih kreatif mengatur semua itu," ucap Imam.

Menyusul persiapan perubahan kurikulum pendidikan nasional untuk tahun ajaran mendatang, dia menyampaikan metode pendidikan harus mengedepankan pembentukan karakter siswa. Jika metodologi yang digunakan sekarang dipertahankan, Imam yakin, pendidikan di Indonesia tak akan maju.

Imam memaparkan, fungsi pendidikan Indonesia perlu dikembalikan lagi. Seperti mengutip fungsi pendidikan yang diuraikan UNESCO, menurutnya, pendidikan di Indonesia harus mengedepankan fungsi learning to know, learning to be, learning to do, dan learning to live together.

"Pendidikan kita itu masih sangat elementer. Seperti sebuah imaji yang monoton, ini menggambarkan kegagalan pendidikan kita, sebab kita baru sekadar learning to know. Padahal kita tidak berhenti pada ranah itu saja kalau pendidikan kita ingin dianggap memajukan," tuturnya.

Learning to be, pembelajaran ini lebih mengarahkan keinginan siswa untuk menjadi seseorang, sesuai cita-citanya. Dengan menyampaikan peran-peran seseorang itu, anak-anak memilih dirinya akan menjadi sosok yang dicita-citakannya.

Jika sudah mencapai itu, learning to do akan mengarahkan siswa untuk tidak hanya belajar menjadi apa dan siapa, tetapi melakukan strategi mendalam dan mempelajari peran dan fungsinya di masyarakat atau learning to live together sesuai dengan karakter yang dimilikinya.

Dia menambahkan, jika keempat hal tersebut masuk ke dalam pendidikan kita, anak-anak tidak lagi sekadar belajar berhitung dan membaca, tetapi juga belajar menemukan karakternya.

"Misal, dompet saya jatuh, kemudian seorang anak menemukannya. Anak itu bisa berhitung dan tahu, ada berapa sih uang rupiah di dompet saya? Mereka tahu jumlahnya karena mereka belajar berhitung, tetapi belum tentu mereka berpikir akan melakukan apa, mengembalikan kepada siapa untuk dompet dan uang yang ditemukannya itu," tutur Imam.

"Karena itu, bukan cuma moral knowing yang perlu kita ketahui bersama, tetapi harus didukung juga dengan moral feeling/empaty, biar merasakan apa yang dirasakan seseorang saat kehilangan dompet, seperti pada kasus di atas tadi. Dan baru kemudian ada yang disebut moral action, yaitu ada tindakan yang harus dilakukan pada saat itu juga," jelasnya lagi.


Kode Etik Guru Diharap Bisa Wadahi Kepentingan Pengajar

Posted: 24 Oct 2012 03:12 AM PDT

Adanya kode etik guru diharapkan bisa mewadahi kepentingan para pendidik dan meningkatkan kualitas pengajar.

Namun begitu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyerahkan pembahasan kode etik tersebut kepada masing-masing organisasi guru di tanah air.

Kepala Pusat informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, mengatakan yang terpenting kode etik profesi guru nantinya mampu menampung kepentingan serta meningkatkan kualitas guru sebagai sebuah profesi.

"Ya, syukur-syukur sesuai dengan profesinya sebagai guru. Yang terpenting kode etik mesti memenuhi aspek pendidik dan pengajar," ujar Ibnu saat dihubungi di Jakarta, Selasa (23/10).

Dirinya menyebut, guru sebagai pengajar harus bisa menuntun peserta didiknya. Tak hanya itu, sebagai pendidik guru juga diharapkan bisa menjadi contoh keteladanan.

Kemendikbud sendiri sangat mendukung langkah sejumlah langkah organisasi profesi guru dalam menyusun kode etik. Ibnu menilai sudah menjadi keharusan guru sebagai sebuah profesi memiliki kode etik. Hal ini bertujuan agar para guru bisa menjalankan tugasnya sebagai pengajar dengan baik demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia.

Masyarakat, kata Ibnu, harus memahami adanya kode etik yang berbeda antarorganisasi guru. Pasalnya, di Indonesia ada banyak organisasi guru. "Masyarakat harus memahami ini sebagai demokrasi. Selagi bertujuan baik, kami akan dukung," kata Ibnu. 
@republika.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih berkenan meninggalkan jejak
Komentar Pengunjung sangat diharapkan